Desember di Solo (Operasi Tulang Mimi)

Desember diImage Solo (Operasi Tulang)

Saya ingin berbagi pengalaman sedikit tentang pengalaman saya pribadi soal RS yang khusus menangani tulang.

Mimi (ibu dalam bahasa Kami) saya sakit, berikut ini adalah sakit yang diderita beliau; Ginjal, Jantung, dislokasi dan pengeroposan tulang, dan Anemia.

Beberapa tahun sebelumnya Mimi pernah di rawat inap di sebuah Rumah Sakit  Swasta yang lumayan dikenal di Kota Udang, sekitar satu jam setengah perjalanan dari kota kami. Setelah menjalani tes radiologi bahkan USG, dokter menyatakan kalau operasi harus dilakukan pada ginjalnya. Kami sekeluarga menyetujui, saya sendiri yang menandatangani dan membayarkan biaya operasinya. Tapi setelah puasa satu malam dan minum  obat pencahar sebagai persiapan operasinya Mimi dan keluarga memutuskan untuk membatalkan operasi tepat satu jam sebelum eksekusi, alasan kami adalah ketakutan kami dengan resiko penyakit jantung yang dimiliki beliau. Akhirnya kami dengan susah payah meyakinkan RS untuk membatalkan operasi, kami berencana untuk berobat jalan saja sebagai follow-up nya.

Kami pun pulang, dan beberapa tahun setelahnya kondisi ginjal Mimi yang jelek mengakibatkan kualitas kekuatan tulangnya menurun, suatu pagi di hari lebaran beliau terpeleset di dapur dan semenjak itu tulang panggul sebelah kanannya sudah tidak pada tempatnya lagi. Tapi Mimi menganggapnya bisa disembuhkan dengan pijat, dan herbal tanpa diduga ternyata akibat jatuh tersebut sangat fatal. Mimi susah untuk berjalan dan beraktifitas, hemoglobin semakin menurun dan ginjal semakin parah. Untuk kedua kalinya mimi terjatuh di teras rumah ketika ia sedang berlatih berjalan dan saya sedang mencuci piring didapur. Mimi teriak dan menangis, saya tidak bisa apa-apa kecuali menelpon bapak dan kakak saya.

Akibat terjatuh itu gerakan kecil saja sudah cukup membuat Mimi teriak menangis dan kesakitan, kami sesuai keinginan beliau langsung mengantar beliau ke tukang tulang tradisional di sebuah desa di kota udang, disepanjang jalan diatas lantai mobil Mimi terus menangis kesakitan (beliau tak bisa duduk), sesampainya di tukang tulang tersebut bapak tukang tulang langsung mengurut, meluruskan, menarik, dan menyeimbangkan tulang Mimi kemudian dibebatlah seperti gips.

Dalam perjalanan pulang suasananya lebih dramatis lagi karena keadaan jalan yang jelek, mobil sesekali bergoncang, sedikit saja goncangan sudah buat Mimi histeris. Saya, Cuma ikut nangis.

Di rumah,saya dan sekeluarga praktis sudah merangkap jadi mimi sitter, karena beliau sama sekali tidak bisa bergerak, dan tidak ada kemajuan, tepatnya masih terlalu sakit untuk bergerak. Otomatis semuanya kami yang rawat, dari mandi sampai hal-hal kecil lainnya. karena Mimi masih menolak ke RS (mungkin trauma, tak mau operasi). 

Beberapa hari di rumah, saya bisa juga paksa mimi buat ke RS mengingat kondisinya yang tidak membaik dan tampak raut mukanya yang semakin pucat.

Kami memutuskan untuk kembali ke RS yang sama, Mimi menghabiskan 5 ampul darah, mimi dirawat, selama 5 hari pertama Dokter tulangnya tidak juga kunjung datang, dengan alasan seminar dan sibuk. dokter spesialis ginjalnya menegur kami, (red; juga ke pasien yang sedang sakit), kurang lebih beginilah perkataan beliau ini “ibu ini gimana sih, di rekam medis kami catatan ibu ini banyak sekali tapi tidak ada yang tuntas pengobatannya, kalau sudah parah begini kan susah”, dan kalimat semacam itu terus diulang-ulangnya di kemudian hari hingga kami bosan dan bapak saya menegur beliau agar tidak mengintimidasi pasiennya. beliau menyampaikan juga kalau ada yang mau diinformasikan, ya ke keluarga saja. Mau marah ya ke keluarga, bukan ke pasien karena sekarang kami sudah pasrah dan menyerahkannya secara medis. Jadi kami akan ikuti semua prosedur yang diperlukan demi kesembuhan beliau, ketakutan-ketakutan kami yang dulu pun sudah hilang mengingat kondisi Mimi yang tidak bisa bergerak karena sakit.

Dokter ginjal tersebut akhirnya memberikan sebuah skenario, kurang lebih begini yang dikatakan beliau “karena kondisi ginjalnya yang semakin parah, maka ibu harus segera dioperasi. Dan kami menolak untuk melakukan tindakan pada ginjalnya apabila masalah tulangnya belum ditangani, jadi sekarang keluarga silahkan menyetujui untuk mengoperasi tulangnya atau meninggalkan RS hari ini juga” .

Sebenarnya kata-kata ibu dokter itu tidak manusiawi namun karena dari awal keluarga sudah pasrah dan mau mengikuti apapun yang dikatakan RS, kami pun manut saja. jadi Mimi direncanakan menjalani serangkaian operasi, tepatnya 3 kali operasi;1  operasi penanaman tulang platina.2 operasi ginjal kanan, 3 operasi ginjal kiri dan dengan masing masing tenggat waktu 3 bulan.

Saya sendiri yang menandatangani dan membayarkan DP operasi yang pertama, tapi setelah menunggu beberapa hari,ketika  dokter  ginjalnya datang lagi dan menginformasikan kami untuk pulang dulu karena dokter tulangnya masih sibuk dan pesanan tulangnya belum juga selesai. Kamipun pulang dan dijadwalkan check up satu minggu setelahnya dengan pesanan tambahan dari pihak RS kalau mimi tidak usah dibawa pada saat check-up (cukup membawa hasil rontgen dan catatan medis terakhir).

Satu minggu Mimi di rumah dengan rasa sakit yang tidak kunjung reda lewat sudah, bapak saya kembali ke RS dan menemui dokter tulangnya sebut saja Dr. i , sampainya di RS respon pertama yang bapak saya dapat adalah ‘loh, kenapa kemarin ibu dipulangkan?’, padahal beliau sendiri dan dokter ginjal tersebut yang menandatangani surat kepulangan kami, dan dia sendiri yang menganjurkan kami pulang selama menunggu tulang pesanan.

Dan yang lebih aneh lagi adalah pertanyaan kedua beliau, ‘kenapa pasiennya tidak dibawa?”

Daaan bapak saya pun harus kembali lagi ke rumah (lamanya perjalanan satu jam setengah), memesan ambulan dan membawa ibu saya ke RS. Dan sampai disana ibu saya tidak diapa-apakan.

Daaaaan tetap mereka mengulur waktu, tidak siap untuk melakukan operasi, akhirnya sebulan sudah kami digantung menunggu kapan operasi. Dengan kondisi Mimi yang tak membaik dan kami tak tega melihat beliau kesakitan. akhirnya kami nekat atas saran beberapa saudara, kami bawa Mimi ke Solo. Bapak saya dan Bibi saya yang mendatangi Rumah sakit untuk membatalkan operasi di Cirebon. Dokter ahli tulang itu agak tersinggung dan berkata seakan-akan kami tidak mampu membayar biaya operasinya, ya , kami memang tidak berlimpahan harta, tapi kami yakin bisa cari uang untuk kesembuhan mimi kami. Tapi biarlah, beliau sedang memperlihatkan identitasnya, semoga ini jadi pembelajaran bagi kami dan pihak rumah sakit agar lebih disiplin dan terbuka.

Solo, Kota dimana Rumah sakit-Rumah sakit tulangnya sudah sangat popular di Indonesia bahkan di Asia, adalah tujuan kami. Bismillah, berbekal browsing internet dan nekat kami; saya, bapak,supir ambulan (pak nardi),supir langganan (mang sukron)   dan uwa (uyut nat) mengantar Mimi ke Solo. Kami dilepaskan sanak saudara dengan doa, sudah seperti orang mau naik haji ramainya saat itu, Berangkatlah kami pada  jam 7 malam  selepas isya  dan sampai disana jam 4  pagi.

Saya, selama perjalanan duduk dekat pak supir, mimi dan uwak dibagian belakang ambulan, bapak dan mang sukron di mobil yang lain. Tiap 30 menit saya dan bapak saling sms-an untuk berhenti di pom bensin karena Mimi sering buang air kecil. Karena Mimi tak bisa gerak,jadi semuanya dilakukan didalam ambulan. Begitu seterusnya selama kurang lebih 9 jam. Karena itulah saya sangat berterima kasih pada pom-pom bensin yang menyediakan toilet selama 24 jam juga karena kami bisa bersitirahat dan solat dengan tenang.

Saya, sepanjang perjalanan tidak tidur, terlalu antusias dengan tujuan kami, ini saya bilang seperti gambling, karena modal kami Cuma ceritera, internet dan nekat. Tapi Karena niat kami sudah sangat kuat, maka kami tak hentinya berharap.

Sampai disana sekitar jam 4 menjelang subuh, setelah beberapa kali bertanya pada penduduk lokal tentang alamat RS yang kami tuju, kami sampai juga disana tepat ketika para perawatnya sedang bersiap-siap solat berjamaah di masjid terdekat.  Saya daftarkan ibu saya kepada petugas jaga, cuma berbekal nama dan KTP saja, tidak ada DP sesenpun atau jaminan apapun yang diminta kawan.

Takjub dengan disain rumah sakit yang antik, dan betapa ramahnya daftar harga kelas-kelas ruangan di RS itu saya seakan tak percaya kalau saya ada di Indonesia.  Siang harinya pak Nardi dan mang Sukron pamit pulang dan siang itu juga Mimi menjalani cek tekanan darah dan tetek bengeknya.

Esoknya perawat langsung mengkonfirmasi kami untuk kesiapan operasi  segera setelah tekanan darah Mimi saya normal.

Kami sampai di Solo hari senin, dan hari selasa mimi saya sudah ada di meja operasi. (alangkah gesit dan cekatannya).

Masuk ke kamar operasi dari jam 7 pagi keluar sekitar jam satu siang, dengan perasaan was-was dan tanpa henti memanjatkan doa untuk keselamatan mimi, kami menunggu di luar dengan sabar.

Operasi yang dijalani mimi adalah operasi untuk memotong tulang panggul kanan yang rusak dan tidak pada tempatnya lalu menggantinya dengan tulang buatan terbuat dari platina yang diperkirakan bisa dipakai selama kurang lebih dua puluh lima tahun lamanya. Operasi pun selesai, dan selama dua malam Mimi diletakkan diruang intensive care, dimana kami hanya boleh menemani nya dari ashar sampai isya saja. Setelah para dokter mengamini, barulah Mimi saya dibawa kembali keruangannya. Dokter menyarankan Mimi untuk dirawat selama kurang lebihnya lima hari lagi setelah operasi, untuk dipantau dan menjalani fisioterapi demi memastikan kalau pemasangan platina itu berjalan dengan baik.

Setelah beberapa hari ,Alhamdulillah kondisi mimi membaik dan bahkan dokter ginjal di sanapun memastikan kalau mimi tidak perlu menjalani operasi ginjal.

Dan Akhirnya setelah sepuluh hari agak was-was dengan perkiraan biaya disana, karena dari awal kami tidak pernah diminta untuk membayar apapun maka ada sedikit ketakutan kalau-kalau nanti biaya operasinya ternyata fantastis dan tak terjangkau (karena membandingkan dengan estimasi dari RS sebelumnya) maka tak terbayangan berbinarnya mata saya ketika saya tanyakan total biaya inap,ugd,intensice care,operasi,fisioterapi,obat-obatan dan servis lainnya kepada pihak RS  tsb ,saudara-saudara, total yang harus saya bayar ternyata kurang dari setengah dari estimasi RS di kota udang itu. Karena saking terkejutnya saya, berulangkali saya pastikan “itu sudah termasuk semuanya bu?”, Ibu kasir jawab”iya,mbak”, lalu saya bilang “sudah biaya operasi? Kamar? Obat-obat? Semuanya sejumlah sekian?”, beliau jawab lagi-lagi “iya, mbak”.

Ada sepersekian menit saya terdiam dan bengong, hanya bisa mengucap syukur  kepada Alloh dan berkali-kali mendoakan RS beserta seluruh isinya. Lalu kembali kekamar dengan ringannya untuk menyampaikan kabar bonus itu.

Kamipun lalu pulang, dijemput mobil ambulans dari PMI kota kami dengan supirnya pak warnadi dan tak lupa mang syukron.

Sekarang MImi pun membaik, masih belajar jalan dengan walker. check-up ke Solo pun bisa diwakili saya dengan cukup membawa hasil rontgen terakhir Mimi. Kelak tiap kali saya melihat pak nardi,mang syukron,mobil ambulan, dan toilet pom bensin saya akan selalu teringat Solo dan Mimi dengan tersenyum.

For your information, the name is Rumah Sakit Islam Kustati, Solo.

 

 

Posted in Uncategorized | 4 Comments

Soccer For Dummies

I used to be a fan of Ronaldo from Brazil in 1994 world cup, that was when I was 10 years old back then, I watched his every match till he and the squad eventually won it. After the euphoria I started to give myself up on soccer and its all stuffs.

I grew up believing that soccer was okay but being a soccer fanatic was a waste because I examined many relatives and fellows of mine so addicted to it that they willingly got up in the middle of the night just to watch their favorite team’s match.

Image

I noticed that soccer is loveable and addictive, I did love soccer! Nonetheless I didn’t want to end up staying up late, getting up late, being sleepy in the morning, getting emotionally involved with the team I like. So I got rid of soccer fever by stopping myself from up-dating the news etc and not to mention that I began to feel sorry for those soccer fanatics.

My ‘cold-war’ with soccer world was supported by my reading articles about how anarchistic the hooligans are whether in international stage or in Indonesia, I also experienced it when I was still a college student in Bandung, I lived in Surapati near PUSDAI. One day I was told by the neighbors not to go out anywhere because there was a match of PERSIB (the local soccer team) versus its El Classico. I wondered why they told me so and they said they had undergone several public chaos after the match, committed by some VIKING (PERSIB fanatics), those irresponsible fanatics looted public stores and some peddlers they even stopped cars with license plate of their El Classico’s place of origin.

Since then I learned that it is crazy how people can act foolishly in the name of love, love of soccer.

A couple of years after that I became an instructor in an institution and found two students hating each other just because they have different favorite soccer teams and it was just because they imitate their senior behavior, apparently those hooligans pass their hatred down easily to the young fans.

I told them that to LOVE one thing DOESN’T MEAN you have to HATE the other thing.

But then I realized that I ought to know the topic well to understand what caused them acted like that.

That was the right time and the turning point as I had co-workers that happen to love soccer. My boss is in love with Barcelona and my partner is in love with Arsenal, they can be good role models for our students; of how the soccer lovers should be.

Those two people sometimes have tough, complicated topic and defenses on their each other teams, they often have different point of view on some matches or policy but they do not hate. That’s the lovers should be; spreading love not hatred, arguing in proper ways instead of hating, listening to others instead of being dumb and ignorant.  

To be continued…

Posted in Uncategorized | Leave a comment

What makes an ideal class?

I have been working in a campus where I teach MKDU for more than 2 years, I have encountered students from different background of cultures and personalities even provinces. I have prepared myself for the worst situation such as juveniles’ behavior. My best friend says that today’s students put the equality on the top; they tend to behave unlike the conventional ones in the past, the today’s students consider guru-guru as their friends. But it’s not a big deal for me as I am trained in an institution where I learn many kinds of methods and approaches of teaching that require us to be more open-minded.

I was enthusiastic to experience the new atmosphere I might get there, I always keep in my mind that I will always ‘listen’ to my students.

ImageIt was my second year when I had my first day of that year’s matriculation, I went to the office to get the attendance list and I met a staff. He suggested me to be firmer for the new students were rebellious and hard to control, he and the others had experienced it. He then compared the lecturers to one lecturer that managed to control them by being firm so that the class was quiet. Well, at first I was shocked and thought that he was a li’l bit impudent, but it’s not that easy to get me tempered. I then realized that he perhaps was just being a good co-worker, so I thanked him for the advices.

I encouraged myself and stuck to my own methods that I wouldn’t stereotype my students or treat them like robots.  I entered the room and found them easy to control, as a matter of fact they could create some conducive atmosphere though the number of students was abundant for a language class, around 80.

In my very humble opinion, teaching, especially teaching languages requires the learners to be more active at speaking and not to be silent (unless they are spoken to for certain activities).

Every subject has each different needs, some of them demand the learners to be quiet and some others are the vice versa.

You see, MY CLASS, MY RULES, dawg.

Posted in Uncategorized | Tagged | Leave a comment

An outstanding visit

 ImageA few days ago on March 8, 2012 to be exact GET-House of English Indramayu hosted a special rendezvous with a special native speaker from Portsmouth, England.

Such seeing a Gulliver our kids seemed to be amazed only by his physical appearance, Michael Lang, a tall English man touched down our venue at 1.30 pm. We served him a plate of Gado-gado nearby as his lunch; rumor has it that most Europeans avoid spicy foods, out of the blue; he ate up a full spoon of Sambal immediately.

The students were posted in room 101, they showed some enthusiasm as the guest entered the room and greeted them by Salam, they responded it cheerfully.

He started the friendly meet and greet by introducing himself and how he and other Europeans prefer being addressed by “Mr. Lang” or “Pak Michael” to “Mister” only, and furthermore he said that it’s impolite to mistakenly address a man by “mister” with no names. Mr. Lang then delivered a brief overview of the UK, comparing the population with the one in Indonesia. He took Java as the example; its population is two times bigger than in the UK where the size of the UK is 3 times bigger than Java.

Just like the other foreigners say about Indonesia, he also added that one thing he liked the most from Indonesia was the smile. They think that it’s wonderful how generous Indonesians are at smiling; as a matter of fact some Indonesians do not mind smiling at a stranger for they think smile is another form of affection.

When it was the time for students to ask questions, some students from Children classes bravely raised their hands while some others just remained smiling. Daris Aviceena, Ari Muhammad Rizal, Octaviani Safitri, Siti Aisyah, Rafa T, M. Hafiz, M. Tsany Lesmana, Asqo B.Z, Fajri Latifah, Ryan A.P.S, Dimas M.P  and many more asked about his age, job, favorite sports, food,  and color.

The questions turned to be more interesting when the adult participants took part in the last session; they are from GEC, and Speaking classes. They dug more about cultures, education, teenagers in his country and even his life experiences. Such as his keys of being a successful man and the reason why he chose Indonesia.

How quickly the time flew for we did not realize that it had already been 6 in the evening and we had to end it, poor Mr. Lang… apparently being interviewed without any pauses made him so thirsty that he drank up 3 medium bottles of  mineral water in no minutes.

Above all, we think this kind of event is a good agenda to facilitate students to communicate with the native speakers directly so that they can improve their language skills and learn the cultures as well.

One thing that I learn from Pak Michael is that it is essential to get blended with the local people by being open-minded, friendly and equipped by sufficient knowledge about them because that’s what I noticed from the way he interacted with us.

Just like what wise men say “When in Rome, do as the Romans do” or in Bahasa we have “Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”.

                                          Indramayu March 2012 Lely Yuliawaty

 

Posted in Uncategorized | 1 Comment